'Rumah Karang' of Bajau Tribe
- AbstractRumah Karang is one of the three typical dwelling types found in Sampela Hamlet, Wangi-wangi Island, Wakatobi Regency, where the Bajau tribe resides. Rumah Karang represents an adaptation to modern times by using contemporary materials for durability while still standing above water, preserving the Bajau tribe's connection with the sea.
- Architecture
Rumah Karang
Rumah Karang adalah jenis rumah semi-permanen sejak Suku Bajau mulai menetap di satu tempat. Ia menggunakan pondasi kayu bakau yang menumpu di atas karang untuk memperkuat pondasi rumah sekaligus memecahkan ombak yang dapat mengurangi usia rumah. Ia berbeda dengan rumah Tancap yang merupakan rumah singgah yang dibangun dengan cepat dan seringkali ditinggalkan selamanya setelah fungsinya selesai. Ia juga rumah sebelum bentuk akhir Rumah Gantung yang dirancang untuk bertahan selamanya di atas pondasi karang yang utuh.
Struktur
Konstruksi
Dalam suku Bajau, siapapun boleh membangun rumah. Namun ia perlu sandro (dukun) dan Tukang Rumah (orang yang ahli membuat rumah) untuk melangsungkan prosesnya. Sandro bertugas untuk memeriksa, mendoakan tanah dan pancang bangunan untuk menolak bala. Sementara tukang Rumah adalah orang yang memahami kondisi tanah, konstruksi pancang dan filosofi pendirian rumah. Ia mengawasi proses pendirian rumah.
Ritual pembangunan rumah dimulai dari peletakan batang pohon pertama sebagai pancang. Sandro (dukun) akan memilih tanah, kemudian membaca doa khusus ketika proses pemancangan. Sementara Tukang Rumah akan memeriksa suhu tanah. Jika ia merasa tanah itu panas, maka tiang tak boleh dipancang disana.
Langkah berikutnya menentukan ukuran rumah. Suku Bajau menggunakan satuan ukuran yang disebut kamar dan lontar. Kamar adalah lebar muka rumah, sementara lontar adalah panjang kedalaman rumah. Satu kamar terdiri dari sepasang pintu dan jendela, sementara satu lontar berisi satu jendela. Ukuran kontar dan kamar ditentukan dari tinggi badan istri pemilik rumah. Selain menggunakan satuan lontar dan kamar, mereka juga menggunakan satuan depa (jarak antar kepalan tangan) untuk ukuran pengali panjang dan lebar.
Langkah-langkah berikutnya umum seperti pendirian rangka, pelapisan dinding, hingga pemasangan atap. Umumnya satu Rumah Karang dapat diselesikan dalam beberapa minggu. Namun dapat lebih lama jika material yang dibutuhkan tak sedang pada musimnya.
Sambungan Rumah Karang telah menggunakan kayu dan paku, tidak lagi sambungan ikat seperti Rumah Tancap. Lantai menggunakan bilah kayu yang lebih kokoh menggantikan alas bambu. Dinding menggunakan kayu besi, sebagian masih menggunakan bilik bambu. Bukaan dinding mulai menggunakan kusen kayu dan kaca yang diproduksi di kota. Sebagian atap telah menggunakan paduan rangka baja ringan dan asbes untuk memperpanjang umur rumah.
Zonasi
Bagi orang Bajau, laut adalah rumah. Awalnya, mereka tidak mengenal rumah dalam konteks menetap. Sehingga, rumah Orang Bajau yang ditemui hari ini seringkali mencerminkan ruang-ruang di dalam perahu. Misalnya, di dalam Rumah Karang dapat dilabeli dengan 3 zona tipikal, antara lain ruang publik di atas karang dan muka pintu, ruang komunal adalah area di dalam rumah, batas akhir tamu berkunjung, serta area privat berupa dapur dan kamar tidur bersekat di bagian belakang.
Namun, ruang-ruang ini dapat membaur seperti situasi di perahu. Seperti kegiatan mandi dapat berlangsung di ruang tengah atau dapur, selama air dapat langsung jatuh ke laut di bawah lantai papan. Tidak ada aturan adat khusus yang menentukan hirarki atau pembagian ruang berbasis gender di Rumah Karang. Adapun unsur gender hadir pada dimensi rumah berdasarkan tinggi badan perempuan pemilik rumah, menandai signifikansi perempuan atau ibu dalam kehidupan orang Bajau.
Rumah Suku Bajau pada umumnya diawali dengan akses dari teras, ruang tamu, kamar tidur, dan dapur. Terdapat titian untuk menyebrang dari jalan kayu menuju teras rumah yang beralaskan bambu-bambu pipih dengan pondasi kayu. Pintu rumah harus dilalui dengan melangkahinya (mengangkat kaki) karena ada pembatas dengan tinggi sekitar 40-50 cm agar pandangan dari luar ke dalam rumah akan terhalangi. Ukuran tinggi pintu juga mengikuti lebar bukaan mulut istri si pemilik rumah dikalikan dengan bilangan ganjil sesuai kebutuhan bukaan pintunya.
Terdapat rumah-rumahan kecil (kandang) di ruang tamu yang konon merupakan tempat gurita, yang merupakan perlambangan saudara kembar Suku Bajau di lautan. Menurut Suku Bajau, jika rumahnya menggunakan kayu, pemilik rumah tersebut termasuk orang yang mampu dibandingkan dengan pengguna bambu, karena harga kayu yang lebih mahal. Warga yang memiliki rumah tancap dan berlantaikan kayu akan memarkirkan sampannya di bawah rumah, lalu mereka akan masuk ke dalam rumah melalui sampan tersebut. Ada salah satu bagian lantai yang dapat diangkat, sehingga warga dapat melewati lubang tersebut untuk turun ataupun naik dari sampan.
Ruang tamu dan teras merupakan ruang sosialisasi utama sekaligus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari karakter penduduk setempat yang ramah, sehingga warga dengan mudahnya dapat keluar masuk dari satu rumah ke rumah yang lain, baik untuk duduk, mengobrol ataupun beristirahat. Dengan adanya aktivitas tersebut maka area tidur dan beristirahat dapat meluas dari kamar tidur hingga ke ruang tamu. Penempatan kamar tidur diutamakan bagi wanita dan anak-anak. Bila kamar tidur terlalu sempit, laki-laki akan tidur di ruang tamu atau di teras.
- Social & Culture
Sejarah Lisan
Suku Bajau merujuk pada kelompok manusia yang hidup di atas kapal dan mengarungi laut. Orang Bajau artinya orang yang mencari ikan. Mereka menyebut dirinya sebagai Suku Sama. Suku ini tersebar di 21 provinsi di Indonesia serta sekitar perairan asia tenggara (Filipina, Brunei, Malaysia). Diduga mereka berasal dari Muara Barito yang bermigrasi ke Sulu, Filipina pada 800 M. Kemudian pindah ke Sabah, Malaysia pada abad 15 kemudian menyebar ke perairan di Indonesia. Salah satu lokasi domisili orang bajau, yakni Dusun Sampela diresmikan pada 1998. Dusun ini diyakini ada sejak 1920 menurut peta Belanda yang disimpan kepala desa. Kemudian dusun ini berkembang menjadi 3 dusun lainnya sejak 1960.
Orang Bajau tak hanya bekerja sebagai nelayan. Mereka mengambil bermacam profesi yang berhubungan dengan laut dan kebutuhan lainnya, antara lain tukang perahu, tukang rumah, pembuat cinderamata, pedagang air tawar, dan lain sebagainya. Rata-rata Orang Bajau memiliki kepekaan yang tinggi terhadap alam laut, seperti kemampuan memprediksi buruan laut, membaca cuaca dan angin, serta kepiawaian berlayar.
Perkembangan Arsitektur
Menurut tuturan tokoh masyarakat dan pengamatan lapangan, ada 3 jenis rumah di Dusun Sampela berdasarkan tahap pengembangannya.
- Rumah Tancap ialah rumah singgah sementara yang konstruksi dan materialnya paling sederhana. Berupa tiang pancang dari kayu bakau yang mudah ditemukan, serta penutup atap dan dinding dari ilalang. Rumah ini diyakini sebagai bentuk awal persinggahan Orang Bajau yang lebih lama menghabiskan waktu berlayar daripada menetap.
- Rumah Karang, ialah rumah semi permanen yang menancap pada batu karang. Sistem konstruksinya masih sama dengan Rumah Tancap, tetapi telah menggunakan sambungan paku dan material pabrik seperti atap asbes dan baja ringan untuk meningkatkan ketahanan rumah. Rumah ini dimulai sejak Orang Bajau mulai menetap di satu tempat.
- Rumah Gantung. Ialah rumah permanen yang telah ajeg menjejak di atas karang. Konstruksi dan materialnya menggunakan material yang lebih tahan lama. Namun ia bersifat modular sehingga dapat dibongkar pasang untuk mempermudah perbaikan rumah.
Pedoman & Ritual
Ada beberapa sandro atau dukun yang khusus menangani kelahiran, penyembuhan, dan lain-lain. Ketika proses lahiran dan bayi lahir, ari-arinya akan dibungkus dengan daun pandan yang sudah kering, lalu diikat kepada batu diatasnya menggunakan tali atau benang daun kelapa sebagai pemberat untuk ditenggelamkan ke laut belakang rumah. Batu pemberat ini membantu ari-ari yang ditenggelamkan tidak hanyut dan akan habis dimakan ikan. Bayi akan sakit jika ari-ari hanyut. Setelah bayi berusia satu bulan, bayi akan dimasukkan ke laut melewati bawah sampan secara cepat oleh ibunya, agar bayi ini dapat berenang ketika dewasa.
Dalam ritual pengobatan, ada empat tingkatan penyakit. Ka, penyakit malas bekerja dan ingin tidur terus. Hal ini disebabkan oleh ari-ari yang ditenggelamkan ke laut saat lahir, sedang terganggu. Kuta, berupa sakit gigi dan bengkak yang disebabkan oleh gurita, kembaran manusia di laut, yang terganggu. Tuli berupa sakit perut yang disebabkan oleh kembaran manusia, yaitu buaya, terganggu. Kadilo Kadaro atau sakit kuning. Penyakit lainnya, Sumanga’, berupa lesu, demam, menggigil, dapat disebabkan oleh shock atau koneksi batin antara ayah dan anak perempuannya. Runutan pengobatan ini dilakukan dari tahapan ka. Jika belum sembuh juga, akan dilakukan ritual selanjutnya yaitu kuta dan seterusnya hingga kadilo kadaro. Ritual ka adalah pelarungan sesajen yang terdiri dari nasi, garam, sirih, dan lilin menyala ke laut. Ritual kuta melarung sesajen nasi, garam, sirih, janur yang dirangkai, serta lilin menyala ke laut. Ritual tuli melarung sajen beras berwarna hitam, kuning, merah, putih, serta pisang, telur, dan bambu ke laut, ditambah satu nampan berisikan sajen yang sama, digantung di tengah ruang upacara. Kadilo kadaro meletakkan sajen potongan ayam di bawah pohon beringin dan melarung arak ke laut.
Masyarakat di Desa Sampela percaya akan hantu laut. Warga tidak boleh tidur terlentang ketika malam hari di luar rumah, karena dipercayai akan dibawa hantu laut dan meninggal. Mereka juga percaya bahwa bintang jatuh membawa kesialan, sehingga jika melihatnya, mereka harus menggosokkan rambut dengan tangan sebanyak 7 kali. Ada juga kepercayaan mengenai penggunaan perhiasan dengan cangkang penyu berbentuk kalung, gelang, dan cincin. Sebagai sebuah perhiasan, nilainya ditentukan oleh seberapa besar ukuran tebal bahan yang digunakan. Semakin besar atau tebal, maka semakin tinggi nilai ekonominya. Benda tersebut juga mengandung unsur jimat bagi pemakainya, dimana ketika dikenakan dapat mencegah penggunanya terkena racun atau sihir yang dikirim oleh orang lain.
Tatanan
Tatanan Sosial
Orang Bajau berakar dari tradisi kerajaan dengan raja yang disebut Lolo. Jabatan dibawah Lolo disebut syabennara atau syahbandar, dan sekretarisnya yang biasa disebut gellareng. Ada jabatan yang disebut panglima atau ponggawa. Jabatan ini tak eksklusif bagi keturunan Bajau, ia dapat diberikan sebagai gelar kehormatan kepada seseorang atas jasanya terhadap Suku Bajau.Orang Bajau telah menerapkan emansipasi wanita dalam keseharian, melibatkan perempuan dalam pemerintahan, bahkan sebagai lolo. Sistem perkawinan tidak terikat pada suku atau strata sosial lainnya. Suku Bajau modern telah mengasimilasi sistem demokrasi dalam keseharian mereka. Sehingga, walaupun keturunan lolo masih ada dan diakui, ia perlu melewati kesepakatan antar tokoh dan dewan orang tua adat untuk diangkat sebagai pemimpin.
- Rumah Tancap ialah rumah singgah sementara yang konstruksi dan materialnya paling sederhana. Berupa tiang pancang dari kayu bakau yang mudah ditemukan, serta penutup atap dan dinding dari ilalang. Rumah ini diyakini sebagai bentuk awal persinggahan Orang Bajau yang lebih lama menghabiskan waktu berlayar daripada menetap.
- Geography
Pulau Alor
Kabupaten Wakatobi terbentuk dari otonomi daerah provinsi Sulawesi Tenggara. Luas wilayahnya sekitar 823 km2, dengan luas perairan 18.377 km2. Wakatobi dibatasi oleh laut Banda di sebelah timur, selatan dibatasi laut Flores, lalu Kabupaten Buton di utara dan barat. Di antara keempat pulau di Kabupaten Wakatobi (Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko), suku Bajau bertinggal di desa Sama Bahari, pulau Wangi-wangi.
Desa Sama Bahari
Desa Sama Bahari tersusun oleh 4 dusun antara lain Sampela, Pagana, Dikatutuang, Wanda. Keempat dusun ini berdiri di atas laut dengan rumah berpancang ke karang. Tiap dusun dirajut oleh titian yang menghubungkan keempatnya. Suku Bajau bermukim di dusun Sampela, dusun tertua dan diyakini sebagai pemukiman pertama daerah ini.
- Symbolic Classification
Simbol Non-fisik
Orang Bajau percaya dengan tanda alam yang berhubungan dengan laut. Mereka melihat kenaikan dan penurunan air laut menjawab suatu berita. Jika berita datang saat air pasang, maka ia benar. Jika datang saat air surut, maka ia tak benar. Pertanda alam ini menandai bulan dan jenis ikan yang akan mereka cari. Sebagian orang Bajau menyediakan ruang khusus di dalam rumahnya untuk ruang doa yang diumpamakan sebagai kandang. Mereka percaya bahwa sosok gurita, buaya, dan sejumlah hewan lain sebagai figur saudaranya di laut. Jika salah satu anggota keluarga jatuh sakit, mereka menyimpulkan bahwa saudaranya di laut juga sedang sakit.
- Settlement Pattern
Pola Kampung
Masyarakat adat Bajau hidup berkelompok sebagai suku nelayan. Awalnya rumah mereka berjauhan dan mesti menggunakan kapal untuk saling berkunjung. Dengan bertambahnya populasi, rumah semakin dekat sehingga muncul titian untuk menghubungkan satu sama lain. Pola desa Sama Bahari berbentuk linear dengan satu garis titian yang membelah desa sebagai koridor utama. Jalan titian ini bercabang merambah ke rumah-rumah lainnya.
Orientasi
Mayoritas rumah menghadap timur mengikuti lintasan matahari untuk menghindari angin barat dan angin timur masuk ke dalam rumah melalui bukaan pintu. Tidak ada acuan poros yang ditentukan oleh bagungan tertentu, misalnya rumah Lolo.