Houses of the Boti Lineage
- AbstractThe Boti people are descendants of the Benu Boti lineage, the first people to inhabit the land of Boti. Boti architecture has evolved and thrived in harmony with its natural surroundings, serving as a dwelling, a storage for wealth, and a social space overseen by the elders, one of which is the Ume Lopo.
- Architecture
Ume Lopo
Ume Lopo adalah bangunan berbentuk bulat yang berfungsi sebagai tempat berkumpul dan penyelenggaraan ritual. Ia merupakan bangunan sakral milik seseorang dengan jabatan penting di Desa Boti. Desainnya terbuka dan inklusif untuk akses anggota suku, dengan atap rendah yang membuat individu menunduk saat memasukinya.
Struktur
Konstruksi
Persiapan konstruksi Ume Lopo dimulai dengan mengumpulkan material-material yang dibutuhkan dari hutan. Setelah terkumpul, tetua adat berdoa di lokasi pembangunan Ume Lopo. Tahap berikutnya adalah proses mendirikan Ume Lopo dengan gotong royong selama satu bulan. Jika dilakukan sendirian, pembangunan dapat memakan waktu hingga tiga sampai empat bulan.
Proses konstruksi Ume Lopo dimulai dengan memasang empat batang hau besi yang menerus dari pondasi hingga atap sebagai tiang penyangga utama. Selanjutnya, pemasangan penutup lantai loteng dan balok penyangga dengan kayu kasuari yang disusun sejajar menyilang. Kemudian dilanjutkan dengan memasang spar atau rangka atap dari kayu kasuari dengan bentuk melingkar. Terakhir menutupi rangka atap dengan hun atau alang-alang yang diikat daun gewang.
Tahap terakhir dari proses mendirikan Ume Lopo ialah menyusun Fatu atau batu mengelilingi tiang utama dengan diameter sekitar lima meter, lalu mengisinya dengan timbunan Afu atau pasir. Setelah itu, permukaan atas lantai ditutup dengan fatu.
Setelah Ume Lopo berdiri kokoh dan siap untuk digunakan, tahap berikutnya adalah upacara ritual adat. Upacara berbentuk nyanyian serta alunan musik di dalam Ume Lopo. Empat ekor kambing dan empat ekor babi turut disembelih untuk merayakan berdirinya Ume Lopo bersama masyarakat sekitar.
Zonasi
- Social & Culture
Sejarah Lisan
Kepala Desa Boti (Bpk. Boi, per 2020) menuturkan asal muasal Desa Boti. Bahwa, nenek moyang Desa Boti berasal dari Timor Leste. Masyarakat Boti telah menempati Desa Boti selama kurang lebih 200 tahun dengan total 16 keturunan.
Suku boti dipercaya berasal dari matahari terbit yang disebut dengan Neon Sae. Nama Boti diambil dari nama leluhur yang pertama kali mendiami cikal bakal tanah Desa Boti, yaitu Boti Benu. Awalnya, tanah itu tak boleh ditinggali manusia karena dikenal sebagai Paha’Luma dan Paha’Tena yang berarti ‘daerah yang sangat sakral’.
Boti Benu menjalani ritual agar bisa menempati wilayah tersebut. Ritual itu disebut faut elak (batu bertangga) mengacu pada tempat perlindungan untukk keluarga Benu dan pengikutnya. Nama Boti bertahan karena tanah Boti (Pah Meto) selalu berhasil menangkal serangan suku lain (Pah Musu) sepanjang masa peperangan antar marga di abad ke-18. Lambat laun, marga lain bergabung ke tanah Boti.
Pada tahun 1909, pengikut keluarga Benu menjadi sebelas marga. Terjadi kesepakatan penobatan marga Benu sebagai Pah Tuaf (Tuan Tanah) untuk wilayah Boti dan sekitarnya. Penobatan ini dikenal dengan sebutan adat Boti-fatu poan, Ten’om taika’leti, Bot’am Nambaun, El imoe’naot.
Pada tahun 1915, dilakukan musyawarah untuk menentukan siapa yang akan memimpin kerajaan di lingkup masyarakat Boti. Pembentukan kerajaan tersebut mencapai mufakat Boti Benu sebagai Tamuku (pemuka adat). Boti Benu memimpin masyarakat Boti pada tahun 1915-1936. Kemudian ia digantikan oleh anaknya yang bernama Nino Benu sepanjang periode 1937 -1952. Nino Benu digantikan oleh anaknya yang bernama Nune Benu pada tahun 1953-1974 dengan sistem kerajaan yang bertahan hingga saat ini.
Hingga saat ini, terdapat tiga agama yang dianut oleh masyarakat Boti yaitu Kristen, Katolik dan Halaika. Walaupun masuknya agama lain, masyarakat yang tak lagi memeluk agama Halaika masih ditemukan menjalani adat dan budaya Suku Boti dengan penyesuaian agama yang dianut.
Ume Khubu dan Ume Mnasi
Selain Ume Lopo, terdapat bangunan berbentuk bulat bernama Ume Kbubu. Bangunan ini dapat dijumpai hampir di setiap kawasan bermukim. Berbeda dengan Ume Lopo, Ume Kbubu memiliki desain yang tertutup sesuai dengan fungsinya sebagai tempat untuk tinggal, melahirkan, memasak, serta menyimpan jagung hasil panen.Desain tertutup membuat bagian dalam Ume Kbubu menjadi tetap hangat sehingga cocok untuk dihuni ketika cuaca dingin. Walaupun terkenal dengan sebutan rumah bulat, ditemukan Ume Kbubu yang telah bergeser bentuk menjadi kotak.
Seiring pergeseran zaman, terdapat beberapa penyesuaian konsep bertinggal masyarakat Boti. Ditemukan Ume Mnasi berupa rumah tinggal berbentuk persegi. Bangunan ini dilengkapi kamar mandi dan tempat menjemur pakaian yang terpisah. Tak jauh dari sana, ditemukan juga makam beratap di kawasan bermukim. Makam tersebut milik masyarakat Boti yang telah menganut agama Kristen atau Katolik.
Pedoman & Ritual
Pedoman Adat
Sebagian besar masyarakat Boti masih menganut kepercayaan Halaika. Para penganutnya percaya dengan adanya Uis Pah dan Uis Neno, yaitu Dewa Penjaga Bumi dan Dewa Penjaga Langit. Mereka menjalani sejumlah pantangan berdasarkan adat istiadat Halaika.Pantangan adat di Desa Boti mengandung sanksi yang dijatuhkan oleh Raja Boti. Namun, hukuman di Boti cukup unik. Salah satunya hukuman mengganti sepuluh kali lipat nilai barang curian. Orang Boti meyakini bahwa hukuman keras tak menimbulkan efek jera bagi pelaku. Namun, keistimewaan ini hanya berlaku satu kali. Jika diulangi, maka pelaku akan mendapatkan sanksi adat.
Selain pantangan dan pamali, ada tabu pada masyarakat Boti seperti Bunuk. Bunuk adalah sebuah penanda magis yang ditanam ke benda tertentu. Ia ditandai oleh daun kelapa dan kayu kering untuk memperingati bahwa benda tersebut diberi Bunuk. Jika dicuri, akan mengakibatkan sakit seperti luka pada bagian ketiak dan kemaluan. Orang Boti punya obat tradisional yang disebut Malo. Malo adalah obat-obatan herbal yang diambil dari ekstrak daun tanaman khusus.
Kelahiran dan Pendewasaan
Proses melahirkan bayi dilakukan di Ume Kbubu. Pasca kelahiran, ibu dan bayi bertinggal di sana selama 40 hari tanpa sang bapak. Setelah 40 hari berlalu menyusul upacara adat untuk merayakan kelahiran. Ari-ari bayi akan digantung pada sebuah pohon. Posisi ari-ari bayi lelaki diletakkan lebih tinggi dibandingkan bayi perempuan.Setelah tumbuh dan memasuki tahap pubertas, laki-laki Boti yang telah berumur lebih dari 18 tahun akan melakukan ritual pemotongan kulit kepala bagian penis (kulup), kemudian ia melakukan pembersihan dengan melakukan hubungan seksual dengan tiga wanita selain istrinya. Ritual tersebut ditutup dengan upacara adat di Ume Lopo. Sedangkan bagi perempuan Boti, upacara adat tahap ini akan dilaksanakan ketika sang perempuan mendapatkan menstruasi pertamanya.
Syarat Menikah
Laki-laki Boti dianggap siap menikah ketika ia mengerti cara berkebun dan beternak. Ia juga telah memiliki Ume Kbubu dan Oof untuk mendukung kegiatan tersebut. Sedangkan perempuan diperbolehkan menikah ketika ia dapat menenun kain bagi calon suaminya. Prosesi menikah bagi masyarakat Boti yang menganut agama Halaika akan bertempat di Sonaf.Kematian
Ketika seorang pemeluk agama Halaika meninggal dunia, jasadnya dikuburkan di dalam hutan adat yang tak dapat dimasuki sembarang orang. Bagi masyarakat Boti yang telah menganut agama, jasadnya akan dimakamkan dekat area kawasan bermukimnya.Tatanan
Tatanan Sosial
Wilayah Desa Boti diakui baik secara administratif maupun secara adat. Per 2020, Desa Boti dipimpin oleh Bpk. Boi Benu selaku Kepala Desa secara administratif dan Raja Namah Benu selaku Kepala Adat. Marga Benu merupakan marga yang memiliki persebaran dan jumlah yang paling banyak di Desa Boti. Banyak keturunan marga Benu merupakan keturunan asli Boti Benu.Sistem sosial yang berlaku di Desa Boti adalah sistem patrilineal, artinya garis keturunan seseorang akan berlanjut dari pihak lelaki. Desa Boti menganut sistem kerajaan, sehingga kepemimpinan raja akan diteruskan mutlak dari garis keturunan. Masyarakat Boti mempertahankan tradisi mereka melalui anak. Jika raja mempunyai dua anak, maka salah satunya diwajibkan bersekolah, sementara lainnya diwajibkan untuk meneruskan kekuasaan.
Sistem sosial dan politik Desa Boti erat kaitannya dengan silsilah keturunan raja. Raja memiliki pengaruh besar dalam keseharian masyarakat Boti yang masih memeluk agama Halaika. Kehadiran raja dianggap sangat penting sebagai sosok utama yang menjalankan kewajiban dalam kepercayaan agama Halaika, membuat keputusan dalam urusan adat dan kampung, serta berwenang dalam mengadili dan menghakimi kasus pelanggaran adat.
Tatanan Bertinggal
Pemaknaan nilai tabu dan tradisi tertanam kuat pada Ume Khubu. Lantai dua pada Ume Kbubu hanya boleh dimasuki oleh ibu. Orang Boti sepakat bahwa Ume Kbubu adalah hak paripurna ibu. Ialah yang berwenang untuk mengolah isinya dan mengizinkan anggota keluarga lain untuk memasukinya. Jika sang ibu meninggal, maka hanya anak perempuan yang boleh memasukinya. Jika anak perempuan tersebut sudah menikah, maka ia harus memiliki Ume Kbubu sendiri.Cara mengolah hasil kebun juga berpusat di Ume Khubu. Semua orang menyimpan panen jagung di Ume Kbubu masing-masing, yang kemudian diasapi selama beberapa minggu agar jagung kering dan tahan berbulan-bulan.
- Geography
Pulau Timor
Nusa Tenggara Timur adalah sebuah provinsi yang terdiri dari pulau-pulau yang dihubungkan oleh Laut Sawu. Ekosistem Sumba berada di paling barat, diikuti oleh Flores yang membentang panjang dan dengan karakteristik yang tipis. Selain itu, ada beberapa pulau dengan ukuran yang lebih kecil, seperti Alor, Sawu atau Sabu, dan Rote yang menjadi pulau paling selatan di Indonesia. Kawasan timur dari nusa tenggara ini pun berbatasan langsung dengan negara tetangga, yaitu Republik Demokratik Timor Leste yang terletak di Pulau Timor.
Desa Boti
Desa Boti terletak di daerah pegunungan yang berada di kecamatan Kie, Kota Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara geografis, bagian selatan Desa Boti berbatasan dengan Desa Nunbena, sedangkan di bagian Barat berbatasan dengan Desa Nakfunu. Jarak Kota Soe ke desa Boti kurang lebih 30 km dengan waktu tempuh 3-4 jam perjalanan.
Luas desa sekitar 16.500 ha dengan populasi 2.155 orang berdasarkan data penduduk tahun 2019. Desa Boti terbagi menjadi 2 wilayah, Desa Boti non-adat dan Boti Adat. Ia memiliki kantor pemerintahan yang terletak di Timur Laut Kampung Adat.
- Symbolic Classification
Simbol Fisik
Orang Boti menggunakan instrumen musik juke dan gong. Juke adalah alat musik petik seperti ukulele. Kecil, terbuat dari kayu dengan empat senar. Sedangkan Gong merupakan alat musik tabuh yang terbuat dari tembaga bulat. Keduanya dilarang berbunyi ketika musim tanam karena pantangan berbuat gaduh demi menghormati hujan dan tanaman. Kedua alat musik tersebut baru digunakan untuk mengiringi tari-tarian dan ritual perayaan panen yang disebut Sekit.
- Settlement Pattern
Pola Kampung
Pola kampung cenderung radial melihat posis Ume Lopo dan Khubu yang berdekatan sebagai poros utama bangunan di sekitarnya.
Orientasi
Ume Lopo dan Ume Kbubu berorientasi menghadap Nua ama ha, arah orientasi yang dianggap baik dan dipercaya dapat membawa berkah. Namun tak ada penjelasan lebih lanjut penentuan arah Nua ama ha, melainkan pengetahuan dan keputusan tetua adat mengenainya.