House of Jungle People
- AbstractGodong House is a type of farming house belonging to the Orang Rimba, a semi-nomadic community in Bukit Duabelas National Park, Jambi. They live a nomadic life in the jungle, spending their days hunting, gathering, and farming. The settlement we recognize as a house serves as a temporary shelter or a place to lie down in their daily activities.
- Architecture
Rumah Godong
Rumah Godong merupa struktur panggung semi-permanen untuk pos kegiatan berladang sepanjang musim tanam (1-2 tahun). Kegiatan berladang bukan tradisi asli Orang Rimba, ia baru dimulai sejak hewan buruan mulai langka. Karena kegiatan berladang membutuhkan banyak orang, maka Rumah Godong dibangun dengan kapasitas lebih besar dari umumnya bangunan Orang Rimba. Ia menjadi bangunan komunal untuk berladang sekaligus tempat tinggal.
Konstruksi
Dalam pembangunan segala jenis tempat tinggal, Orang Rimba berkonsultasi dengan dukun adat untuk menentukan lokasi. Dukun akan memperbolehkan suatu bangunan berdiri di atas tanah dingin. Jika dukun merasa tanah tersebut panas, maka lokasi calon bangunan harus dipindahkan.
Bangunan orang rimba tak boleh persis di sisi sungai. Sebab tempat tinggal yang bayangannya terpantul muka sungai akan membawa celaka bagi penghuninya. Tempat tinggal juga tak boleh ada dalam jarak pandang pohon Gesing dan Keranji karena akan membawa malapetaka serupa.
Konstruksi Rumah Godong terdiri dari 9 tiang kayu meranti sebagai kolom utama memancak pada tanah. Lantainya setinggi pinggang orang dewasa, menggunakan susunan ranting meranti yang dilapisi kayu lukok. Kulit atap menggunakan daun benal yang dapat bertahan selama 4-6 tahun. Orang Rimba juga menggunakan terpal plastik sebagai pelapis daun untuk menahan rintisan hujan. Tiap pertemuan kayu menggunakan sambungan ikat dari rotan atau kulit kayu.
Tak ada satuan khusus dalam ukuran Rumah Godong. Panjang dan lebar lantai menyesuaikan jumlah anggota keluarga yang mendiaminya.
Zonasi
Di Rumah Godong, zona lantai dibagi berdasarkan jenis kelamin dan usia menjadi 4 tingkat, antara lain Jenton (lelaki dewasa), betino (perempuan dewasa), bujang (laki-laki perjaka), dan gadiy (perempuan perawan). Lantai untuk jenton disebut tegekakot tengi, lantai untuk bujang disebut besenting / beselunta, untuk gadis disebut kedalomon gadiy, dan betino disebut kedalomon betino. kedalomon mengacu pada letaknya yang berada di belakang zona laki-laki.
Level lantai (rentang antar lantai satu undakan kaki) tertinggi untuk gadiy, kemudian satu level di bawahnya Jenton / bujang, lalu yang paling rendah adalah betino. Lantai Jenton/bujang berada di depan (lokasi tangga akses). Aturan adat Orang Rimba melarang laki-laki asing untuk memasuki lantai betino dan gadiy.
- Social & Culture
Sejarah Lisan
Menurut penuturan lisan setempat, Orang Rimba berasal dari kisah seorang pemuda yang pindah ke hutan karena bersitegang dengan kakaknya. Pemuda ini menyebut perangai sang kakak sebagai 'mepat di luar, mencong di dalam', mengartikan orang yang menggunakan kecerdikannya untuk mengelabui orang lain. Si Pemuda tinggal di hutan menyebut dirinya sebagai Orang Rimba, sementara sang kakak tinggal di desa disebut sebagai Orang Terang.
Orang Rimba awalnya disebut sebagai Orang Kubu, istilah paling awal dari antropolog eropa. Kemudian pemerintah Indonesia menyebutnya sebagai Suku Anak Dalam. Istilah Orang Rimba adalah sebutan terakhir yang diberikan dan disepakati oleh peneliti Indonesia.
Orang rimba adalah suku peramu dan pemburu. Namun mereka mulai berladang sejak hewan buruan mulai langka. Mereka menanam padi, sawit, dan paling banyak karet untuk dijual ke kota. Selama masa berladang, mereka tinggal di Rumah Godong, tempat tinggal untuk rombongan. Rumah Godong bersifat modular, ia dapat ditambah/diperluas sesuai kebutuhan jumlah anggota kelompok. Namun perluasannya hanya boleh ke belakang atau menyamping untuk menjaga tata pembagian ruang berbasis gender di dalam Rumah Godong.
Perkembangan Arsitektur
Selain Rumah Godong, ada beberapa jenis naungan singgah Orang Rimba berdasarkan fungsinya.- Rumah di Tanoh: Adalah bangunan untuk acara khusus seperti pernikahan, pengobatan, dan proses melahirkan. Ia hanya ditinggali pada saat kegiatan tersebut berlangsung, mulai dari 2 minggu saat acara pernikahan, hingga selama 4 bulan total masa persiapan dan pasca melahirkan.
- Belalapion: Adalah bangunan untuk berteduh dari hujan atau beristirahat ketika mencari hasil hutan dan perburuan singkat (1-2 hari). Konstruksinya cepat dibuat (15-20 menit) dengan material sekitar dan sambungan ikat. Belalapion berasal dari kata lapi yang berarti tikar.
- Sesudungon atau Kemalomon: Berasal dari kata kemalaman, adalah bangunan untuk bermalam jika Orang Rimba membutuhkan waktu berhari-hari untuk berburu. Pembuatannya memakan waktu satu hari karena susunan lantai bangunan ini merupa struktur panggung sederhana untuk mengamankan pemburu dari ular dan binatang liar.
Pedoman & Ritual
Pedoman Adat
Orang Rimba memiliki hukum adat yang disebut Pucuk Undang-undang Nan Delapan. Ia terbagi dari delapan undang-undang berisi dua bagian, Empat di Pucuk (4 di atas), dan Empat di Bewoh (4 di bawah). Bagian pertama mengatur 4 larangan bersenggama dengan anggota keluarga, bagian kedua mengatur kehidupan sehari-hari, seperti penyelesaian konflik, tata krama, dan lainnya.Orang Rimba menerapkan beberapa ritual dalam kehidupan semi-nomadennya. Tiap ritual mengharuskan mereka untuk pindah dari tempat tinggalnya saat itu, baik sementara atau seterusnya. 3 ritual utama Orang Rimba berkisar antara kelahiran, pernikahan, dan kematian. Tiap ritual dipimpin oleh dukun adat. Dukun dipercaya dapat berkomunikasi dengan Dewo (dewa) lewat mimpi.
Kelahiran
Kelahiran melibatkan proses yang panjang dan sakral. Ia mesti berjarak dari pemukiman rombong. Perempuan yang hamil tua akan pindah ke suatu lokasi persalinan. Lokasi ini disebut di Tanah Perano'on, suatu wilayah berisi gugusan bangunan Rumah di Tanoh dan kemalomon untuk keperluan persalinan.Di tanah Perano'on, para janton membuka lahan yang telah diperiksa dan diizinkan oleh dukun. Kemudian pembangunan kemalomon dan rumah di tanoh. Keluarga ibu hamil tinggal di kemalomon untuk mendampingi sepanjang proses menuju persalinan, sementara calon ibu bermukim di Rumah di Tanoh.
Usai persalinan, bayi dimandikan di sungai yang jauh dari ruang hidup orang Rimba. Melosok ke dalam hutan, hanya ditempuh oleh sang ibu, dukun, dan beberapa anggota keluarga. Ia harus tertutup karena ritual ini berkelindan dengan restu para dewa.Pernikahan
Bebalai (pesta) pernikahan Orang Rimba berlangsung selama 2 minggu. Prosesi Bebalai berada di balai, sebuah bidang pelataran kayu yang mampu menampung seratus orang. Di tengah pelataran balai, dukun menjadi medium bagi dewo untuk melangsungkan prosesi pernikahan. Tiap bebalai harus menempati lokasi yang berbeda, tanah yang pernah dibangun balai tak boleh lagi dibangun untuk kepentingan pernikahan.Kematian
Orang Rimba menyikapi Kematian secara harfiah sebagai sebuah bentuk kepergian. Anggota keluarga yang meninggal tidak dikuburkan, melainkan ditidurkan di atas satu pasoron (naungan kecil berpanggung) jauh memencil di pelosok belantara hutan. Tak terjamah jalur sehari-hari.Orang Rimba tak mengenal ziarah. Setelah berpisah dengan jasad mendiang, mereka tak menengok lagi ke belakang dan melanjutkan kehidupan di rumah yang baru. Proses berkabung ini disebut melangun. Setelah mengantarkan jenazah ke pasaron mereka sekeluarga pindah dari tempat tinggal untuk seterusnya.
Tatanan
Tatanan Sosial
Orang Rimba menyebut pemimpin kelompoknya sebagai Tumenggung. Suatu kelompok terdiri dari sejumlah rombong yang dinamai berdasarkan nama pemimpin, seperti kelompok Tumenggung Nggrip, Tumenggung Mijak, dan Tumenggung Tarib. Satu kelompok Tumenggung (misalnya Tumenggung Nggrip), terdiri dari 7 rombong berkisar 700 orang. Tiap rombong dinamai berdasarkan sungai besar atau anak aliran sungai tempat mereka bermukim (misalnya rombong Kedundung Muda). Tiap rombong berisi sejumlah pesaken (keluarga), rombong Kedundung Muda (per tahun 2014) berisi 30 pesaken [1]. - Geography
Taman Nasional Bukit Duabelas
Bukit Dua Belas Jambi, atau dikenal sebagai Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) adalah salah satu dari empat kawasan strategis Provinsi Jambi. Kawasan hutan TNBD ditetapkan oleh Departemen Kehutanan dan Perkebunan (Dephutbun) sebagai taman nasional melalui keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan pada tahun 2000. Keputusan ini mengesahkan Bukit Dua Belas sebagai hutan konservasi yang ditinggali oleh komunitas adat Orang Rimba.
- Symbolic Classification
Simbol Fisik
Tanda dan Bahasa
Orang Rimba menggunakan ranting dan daun sebagai tanda komunikasi. Misalnya, rumah bekas orang meninggal ditandai dengan ranting mati yang dipasang melintang di depan rumah. Kemudian jalan menuju rumah orang sakit ditandai dengan ranting berduri. Sementara daun tentomo yang diapit menunjukkan arah jalan keluarga yang sedang melangun. Untuk musyawarah besar oleh Tumenggung, jalan ditandai dengan buhul tali yang terbuat dari tali antus.Kain
Orang Rimba sangat menjunjung tinggi nilai kain sebagai pusaka keluarga. Ia merupakan harta sekaligus nilai tukar Orang Rimba, misalnya untuk membayar sangsi adat. Kain panjang ini umum digunakan sebagai cawot atau penutup tubuh bagian bawah. Sebelumnya kain cawot dibuat dari kulit kayu, dedaunan, dan tikar pandan hutan. Diperkirakan sejak 1970, kain tekstil memasuki komunitas Orang Rimba melalui barter dengan kota sekitarnya. - Settlement Pattern
Pola Kampung
Pola bermukim Orang Rimba berpatokan pada posisi sungai dan rombongnya. Sungai menjadi identitas rombong, penanda wilayah, serta pembatas ruang. Gugus pemukiman berisi Rumah Godong, ladang, dan kemoloman dengan jumlah sesuai kebutuhan. Tak ada acuan khusus selain sejumlah pantangan dan perizinan dukun dalam membangunnya. Gugus ini bersifat statis (ditempati relatif lebih lama dengan aktivitas lebih rendah).
Gugus pemukiman ini berjarak dari kawasan kegiatan lain yang dinamis (ditempati lebih singkat dengan aktivitas lebih tinggi). Antara lain lokasi pemakaman (pasoron), tempat persalinan (tanah Perano'on), tempat ritual pemandian bayi, serta tempat upacara pernikahan (bebalaian). Lokasi-lokasi ini menyebabkan perpindahan sementara maupun seterusnya bagi suatu pesaken (keluarga) Orang Rimba. Misalnya, pola bermukim dapat berubah ketika seseorang meninggal dunia, karena tradisi melangun mengharuskan mereka mencari tanah baru untuk tempat tinggalnya.
Orientasi
Secara makro, orientasi pemukiman cenderung bersifat linear karena mengurut aliran sungai. Namun secara mikro, tak ditemukan aturan adat bangunan terhadap mata angin atau acuan lainnya yang mengatur orientasi bangunan atau relasinya terhadap gugus pemukiman lain.