Fala Loka of Takpala
- AbstractThe island of Alor, the pearl of eastern Indonesia, forms an archipelago with its sea, mountains, and beautiful landscape. There are traditional villages of Takpala in Alor island that are culturally preserved with 16 traditional housing called Fala House, in which each resides one family per house.
- Architecture
Alor Traditional Dwelling
Rumah Fala terdiri dari 4 tingkat dengan tambahan satu tingkat dasar di bawah rumah panggung untuk tempat tinggal ayam, kambing, dan bahan material. Tingkat pertama rumah berfungsi sebagai tempat menerima tamu, bagian ini dinamakan dengan liktaha yang berarti bale-bale besar. Tingkat kedua disebut dengan fala homi atau di dalam rumah. Tingkat ketiga bernama akui foka yang berarti gudang makanan. Bagian terakhir dinamakan akui kiding yang berarti paling puncak.
Penghubung dari tingkat ke tingkat dalam rumah ini menggunakan tangga penghubung. Untuk tangga penghubung dari lantai dasar ke tingkat satu disebut dengan lik awering yang berarti tangga bale-bale. Tangga penghubung dari tingkat satu ke tingkat dua disebut dengan fala awering yang berarti tangga untuk rumah, dan yang terakhir adalah tangga penghubung dari tingkat dua ke tingkat tiga dan dari tingkat tiga ke tingkat empat disebut dengan akui awering yang berarti tangga untuk loteng.
Dalam pembangunannya, Rumah Fala mempunyai empat tahapan pelaksanaan. Sebelum tahapan tersebut dilaksanakan, terdapat ritual penyembelihan ayam dengan darah yang dimaksudkan untuk membersihkan tanah tempat Rumah Fala dibangun. Setelahnya dilakukan tahap pengukuran rumah menggunakan satuan depa dari siku ke siku atau telapak ke telapak pada satu rentangan tangan. Tahap kedua adalah pengukuran jarak sedalam kurang lebih 1 meter dari permukaan tanah untuk tiang pondasi sebagai tanda awal dari proses pembangunan rumah. Tahap terakhir adalah tahap ketika rumah selesai dibangun, yaitu upacara perayaan dengan memasuki rumah tersebut, membunuh babi lalu dilanjutkan dengan acara makan bersama.
Building Construction
Proses pembangunan Rumah Fala diawali dengan pemasangan kayu merah (bisa digantikan dengan kayu putih dan kayu ipi) sebanyak 4 buah untuk kolom dan pondasi yang disebut taha. Terpasang lempengan kayu melingkar pada tiap taha untuk mencegah tikus masuk ke dalam rumah. Balok kayu dipasang untuk rangka alas tingkat satu yang ditopang dengan tiang-tiang kayu, rafung, dan tiang-tiang penyangga. Tahap berikutnya mengulangi tahap sebelumnya hingga tingkat empat. Selanjutnya dilakukan pemasangan permukaan alas di tiap tingkat, dimana rangkanya diperkuat lagi dengan balok bambu yang disebut dengan lay/may dan diberikan alas lantai berupa belahan bambu yang disebut batomang. Tahap terakhir berupa pemasangan atap menggunakan kayu ketapang untuk rangka utama lalu diperkuat lagi dengan buluh rangka atap (kela) berbahan dasar bambu yang di tutup oleh atap alang-alang yang disebut ameyng.
Sambungan kayu pada rumah hanya memakai tali 4 jenis; vatkave (tali dengan diameter terbesar dan terbuat dari kulit kayu pohon libung), reifunga (terbuat dari rotan), dan makiling (terbuat dari kulit bambu). Jenis lainnya adalah tali lawai (terbuat dari alang-alang) yang hanya digunakan untuk sambungan alang-alang karena sifatnya yang paling lemah di antara tali lainnya.
Spatial Organization
Kegiatan keluarga banyak dilakukan di ‘loteng’, dimana penghuninya harus memanjat ‘atap’ terlebih dahulu untuk mendapatkan privasi dalam rumah. Aweri atau tangga selalu berada di sebelah timur Rumah Fala karena dipercaya sebagai syarat keberuntungan panen nantinya. Dengan adanya tangga di timur, sirkulasi maupun penggunaan ruang lebih banyak berlangsung di liktaha sisi aweri, dan sisi lainnya sebagai tempat penyimpanan. Peletakkan aweri pada bagian timur rumah menciptakan pola ruang berkumpul yang berada di sisi-sisi paling dekat dengan aweri yaitu likhome dan liktaha.
Likhabang dan liktaha yang berada di sisi luar likhome diperuntukkan bagi para tamu, sedangkan likhome sendiri diperuntukkan bagi pemilik rumah dan tetua ketika berkumpul. Pada likhome juga terdapat tekita atau rak penyimpanan tempat bahan makanan siap pakai. Likhome menjadi tempat bumbu yang sesekali dapat digunakan jika warga hendak memasak di lantai. Terdapat pula falahomi sebagai pusat untuk kegiatan memasak. Pola gerak dan berkumpul yang terjadi berbentuk sirkular. Suku Abui terbiasa untuk tidur di sekitar tempat mereka memasak agar dapat menghangatkan diri di dekat tungku ketika angin malam menerpa.
Pengguna ruang ini lebih banyak didominasi oleh wanita mengingat kegiatan masak-memasak dilakukan oleh para ibu ketika para bapak sedang berladang. Namun ketika malam, keluarga berkumpul di lantai falahomi untuk tidur. Privasi ruang menjadi tidak masalah karena para tamu yang datang dapat menginap di dalamnya. Peletakan tungku di falahomi juga bertujuan untuk pengasapan kayu-kayu struktur rumah yang bermanfaat untuk menguatkan dan mengawetkan kayu serta mengeringkan jagung di lantai atas/aquifoka hingga jagung siap diolah dan dimakan. Lumbung (aquifoka) berada di lantai tiga. Aquifoka menjadi tempat menyimpan bahan makanan agar awet dan dapat diasapi di lantai falahomi. Pada level yang lebih tinggi lagi, aqui kiding menjadi tempat penyimpanan moko/belis. Moko menempati tempat terkecil, tertinggi, dan terjauh di Rumah Fala sebagai representasi keagungan. Moko merupakan benda hasil pencarian yang dipercaya sangat langka sehingga diputuskan peletakkannya di aqui kiding.
- Social & Culture
History
Kisah suku-suku Kampung Takpala diawali dengan tibanya suatu rombongan penduduk dari sebelah barat Pulau Alor menggunakan perahu dan menyinggahi beberapa tempat; Bakalang Pura, Alor Kecil, dan Kenarilang. Rombongan ini kemudian berlayar mengelilingi Pulau Alor dan akhirnya tiba di pantai sebelah selatan Pulau Alor. Mereka memasuki pedalaman dan memilih satu daerah kecil diatas pegunungan bernama Abui. Abui berarti ‘pertama’, yang menandakan raja pertama di tempat tersebut.
Masyarakat yang awalnya sederhana dan berjumlah sedikit terus berkembang menjadi berbagai kelompok keluarga. Susunan masyarakat Abui terdiri atas kepala-kepala suku bersama keluarganya dan rakyat biasa. Kampung Takpala saat ini memiliki 16 rumah adat.
Pada tahun 1942, wilayah Wakalelang meluas karena sebagian masyarakat Wakalelang bepindah tempat ke gunung bagian bawah. Asal nama Wakalelang itu sendiri merupakan gambaran dari keadaan alam yang dipenuhi oleh banyak pohon kelapa. Waka berarti kelapa dan Lelang berarti kampung. Kampung ini terletak di atas gunung. Letaknya yang lebih tinggi dimaksudkan agar masyarakat desa terhindar serangan dari suku lain. Perubahan wilayah dan keadaan alam yang tidak lagi dipenuhi pohon kelapa membuat mereka mengganti nama desa menjadi Takalelang. Asal nama tersebut berasal dari senjata bernama Taka, tombak sebagai senjata mereka dalam melawan prajurit Jepang yang menginvasi daerah suku – suku adat di Alor. Bertahun – tahun kemudian Indonesia merdeka dan desa berubah nama menjadi Takpala.
Pada tahun 1984 nilai tradisi Kampung Takpala mulai pudar. Terdapat banyak perbaikan Mesbah karena kurang dipelihara. Peningkatan arus pariwisata di daerah ini mendorong pemerintah untuk menambah fasilitas pendukung dan atraksi. Fasilitas WC dibangun di kedua ujung sisi kampung, sebab suku Abui pada saat itu masih menggunakan lubang pada tanah sebagai tempat mereka buang air. Selain fasilitas, prosesi tarian Lego – Lego yang dilakukan suku Abui dianggap sebagai atraksi yang menarik, sehingga pada tahun 1987 pemerintah menyediakan kursi di depan Mesbah untuk para pengunjung yang ingin menyaksikan prosesi tersebut.
Kampung Takpala mengalami perubahan susunan pola rumah, dimana pola rumah awal yang berupa sirkular dan memusat ke arah Mesbah, berganti menjadi pola linear dengan Mesbah di titik tengah. Hal ini disebabkan oleh keadaan alam di lokasi baru kampung yang memiliki kontur bervariasi. Suku – suku adat lain pun tidak lagi berperang sehingga fungsi pertahanan pada pola awal menjadi tidak krusial.
Seiring bertambahnya anggota Kampung Takpala, dibangunlah Rumah – Rumah Fala baru sebagai tempat tinggal pada tahun 1993. Namun, gempa di tahun 2002 menghancurkan rumah yang baru dibangun sehingga Rumah Fala tidak dibangun kembali di tempat yang sama. Pemerintah mengusulkan untuk mengosongkan area depan Mesbah yang memiliki pemandangan laut sebagai penambah daya tarik kampung. Akhirnya hanya ada satu Rumah Fala yang dibangun kembali lalu direlokasi di sebelah timur. Pada tahun 2006 dibangun lagi dua rumah di sebelah barat.
Ritual
Para keturunan Suku Abui yang tinggal di Kampung Takpala tetap melestarikan setiap tradisi dalam ritual-ritual adatnya, seperti saat pembukaan ladang baru, hari panen, dan hari-hari istimewa lainnya dalam sebuah bentuk Tarian Lego - Lego. Tarian massal ini dilakukan dengan berangkulan secara melingkar semalam suntuk. Tari Lego-lego merupakan tarian penting suku Abui dan suku lainnya di wilayah Alor. Tarian ini merupakan lambang kekuatan persatuan, persaudaraan, serta kekeluargaan masyarakat Alor.
Tarian Lego-lego
Tarian Lego-Lego merupakan ritual tahunan yang penting bagi masyarakat Abui. Ritual ini biasa dilakukan dengan mengelilingi Mesbah yang terdapat di tengah kampung. Di lokasi sekitar tempat ritual terdapat dua rumah adat atau umah dewa, yaitu Kolwat dan Kanuruat. Tidak terdapat batasan umur ataupun jenis kelamin untuk menjadi partisipan Tarian Lego-Lego. Tari ini dilakukan bersama antar laki–laki dan perempuan dengan jumlah penari yang diwajibkan genap. Tarian ini dilakukan dengan cara saling membentuk simpul lengan satu sama lain dan mengitari Mesbah sambil bernyanyi dan menyerukan sisipan pantun atau sajak. Ritual ini bisa berlangsung hingga keesokan paginya apabila dimulai dari malam hari lalu dilanjutkan dengan pesta makan.
Social System
Pembentukan klan dalam masyarakat Alor didasarkan dari garis keturunan ayah dan masing-masing menetap dalam satu rumah adat.
- Geography
Alor, Pulau Seribu Moko
Kabupaten Alor terletak di wilayah paling timur dari Provinsi Nusa Tenggara Timur dan berbentuk kepulauan. Pulau Alor merupakan pulau terbesar yang memiliki kondisi geografis yang beragam, terdapat daratan yang tidak rata, berbukit-bukit, tanah berbatu dan kadang disertai dengan karang. Keberagaman toporafi ini yang membuat iklim di pulau Alor bervariasi tergantung ketinggiannya.Kabupaten Alor yang berupa kepulauan terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Wilayahnya dibatasi Laut Banda dan Laut Flores di sebelah utara, Selat Lomblen di sebelah barat, Selat Ombai di sebelah selatan, dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat di sebelah timur. Pulau Alor memiliki tiga desa adat yakni; Takpala, Bangpalola, dan Helandohi
Kampung Takpala, Desa Lembur Barat, Kabupaten Alor
Kampung Takpala merupakan kampung tradisional di Kabupaten Alor, berada di ketinggian kurang lebih 150 meter di atas permukaan laut. Kondisi geografis Desa Takpala yang berada d ketinggian didominasi oleh batuan kerikil. Sebagai sebuah kampung tradisinal, Kampung Takpala saat ini memiliki 16 rumah adat.
- Symbolic Classification
Symbolic Dimension
Alor memiliki sebuah benda simbol pusaka daerah bernama Moko (semacam drum yang terbuat dari perunggu). Moko merupakan peninggalan bersejarah dari zaman perunggu. Moko sering dihadirkan dalam upacara tertentu, seperti ritual Lego-Lego. Moko digunakan pada awal ritual dengan ditabuh beberapa kali sambil menyebutkan sajak dalam bahasa Abui. Setelah tahapan Beli Moko ini, Moko diletakkan di atas Mesbah lalu dilanjutkan dengan Tarian Lego-Lego dan Tarian Cakalele. Moko menjadi simbol keagungan yang harus ada di Mesbah ketika tarian mengelilingi Mesbah. Moko menyerupai dandang besar yang bertumpuan satu sama lain pada bagian dasarnya, sehingga keseluruhan bentuknya menciptakan dua muka (atas dan bawah Moko). Muka bagian atas Moko terutup agar menghasilkan suara ketika dipukul, sementara muka bagian bawah dibiarkan terbuka. Moko mulai masuk ke Pulau Alor pada abad 18 dan 19. Moko sendiri memiliki jenis komposisi bahan yang berbeda-beda. Masyarakat Alor memiliki kemampuan untuk membedakan jenis–jenis Moko berdasarkan bentuk, ukuran, pola ukiran, bahkan dari bau yang ditimbulkan oleh material logamnya.
Mesbah juga merupakan lambang dari peradaban suku, dimana di atas Mesbah terdapat tiga buah batu yang melambangkan tiga suku leluhur yang ada di sana, yaitu Kapitang, Marang, dan Aweni. Peletakan Mesbah yang berupa tumpukan batu melambangkan persatuan. Di tengah Mesbah terdapat satu pohon dan bambu yang berfungsi untuk menggantung pinang ranti di kedua sisinya. Sebelum Tarian Lego-Lego dilakukan, gong dibunyikan untuk memanggil masyarakat agar berkumpul di tempat ritual, menandakan bahwa akan segera diadakan ritual.
- Settlement Pattern
Village Pattern
Elemen penting penyusun pola kampung Takpala
1.Mesbah; Masyarakat Abui sudah banyak yang memeluk agama katolik, namun keberadaan Mesbah tidak dapat mereka tinggalkan dan masih disucikan, sebab mereka masih percaya bahwa Mesbah merupakan medium penghubung antara mereka dan roh dewa atau leluhur.
2.Mesang; merupakan sebuah ruang publik yang terletak di pelataran terbuka. Mesang berfungsi sebagai sarana komunikasi pada rmasyarakat suku Abui. Pelataran Mesang berbentuk bulat, dengan diameter memanjang sekitar 12m. Ditengah Mesang terdapat Mesbah yang berupa tumpukan batu. Rumah–rumah di Takpala harus dapat dengan mudah mengakses Mesang dan Mesbah.
3.Rumah Kolwat; Di dekat Mesang terdapat Rumah Kolwat dan Kanuruat yang bersebelahan. Didalam Rumah Kolwat yang berbentuk bujur sangkar dan berwarna hitam ini tersimpan alat – alat yang digunakan untuk perlengkapan upacara adat.
4.Rumah Kanuruat; Di dalam Rumah Kanuruat tersimpan benda – benda pusaka seperti moko, periuk, tombak, dan perlengkapan upacara adat lainnya, yang disimpan dan diwariskan secara turun temurun. Rumah ini adalah rumah dewa yang berwarna putih.
Orientation
Orientasi utama kampung takpala terpusat pada Mesbah yang posisinya berada di tengah-tengah . Unsur lain yang penting yaitu dua rumah adat yang berlokasi di area yang sama dengan mesbah. Dua rumah adat dan mesbah tersebut menjadi pusat dari kampung takpala secara keseluruhan yang berbentuk radial.
Setelah Desa Takpala dijadikan kampung wisata, beberapa perubahan yang terjadi. Pola kampung menjadi linear. Mesbah dan rumah adat menjadi sesuatu yang sifatnya terbuka dan dapat terlihat dari luar area kampung. Orientasi ritual berubah, bukan lagi ke dalam, akan tetapi keluar dan juga terarah ke laut.
Kepustakaan dan Kredit
Devanastya, Mirzadelya, et al. (2012). ALOR Living Celebration, Ekskursi Alor 2011. Depok: Departemen Arsitektur FTUI.
Penyunting: Amatory Pramesti Tandungan, Bangkit Mandela